Utang bagi sebagian orang bisa menjadi pemacu untuk lebih produktif
dan kreatif. Kukuh Roxa Putra Hadriyono telah membuktikannya. Akibat
utang dari penyelenggaraan sebuah acara, Kukuh dan beberapa rekannya
terjun ke dunia usaha.
Saat masih menyandang status mahasiswa Institut Pertanian Bogor
(IPB), Kukuh adalah pribadi yang aktif. Bersama rekan-rekan sekampusnya,
ia pernah menggelar festival ta-naman. Namun alih-alih mendatangkan
uang, event itu justru berujung ke utang senilai Rp 30 juta. “Bagi kami
yang masih mahasiswa, jumlah itu sangat besar,” tutur Kukuh yang
menjabat sebagai ketua panitia penyelenggara event tersebut.
Untuk menutup utang, Kukuh dan empat temannya yang tergabung dalam
kepanitiaan mengerjakan proyek-proyek yang diberikan oleh dosen IPB.
Hanya dalam waktu dua bulan, utang pun lunas. Tak berhenti, Kukuh makin
tergiur menggarap proyek. “Untungnya lumayan, bisa buat hidup
sehari-hari,” kata dia.
Dari proyek pengujian obat-obatan produk swasta, muncul idealisme
Kukuh untuk merintis usaha sendiri. Kebetulan, salah satu perusahaan
pemilik proyek mencari produk nilam (sirih wangi), untuk disuling
menjadi minyak bahan baku parfum.
Alhasil, setelah lulus kuliah pada 2010, Kukuh memutuskan untuk
menanam nilam di Bogor. Dia mengajak serta dua temannya yang sepaham.
Kukuh bermitra dengan pemilik lahan dengan skema bagi hasil. Sayang
usaha ini tak berlangsung lama, karena terjadi masalah internal di
perusahaan. “Ada karyawan mereka melarikan uang, perusahaan memutus
kontrak tiba-tiba,” terang dia.
Tak putus asa, Kukuh pun melanjutkan usaha penanaman nilam ke
Banyuwangi, Jawa Timur. Lantaran sudah berkecimpung dengan tanaman ini
sejak di kampus, dia pun yakin nilam memiliki prospek bisnis yang cerah.
Bermodal Rp 30 juta, Kukuh menyewa 2 hektare lahan di desa Macan Putih,
Kabat, Banyuwangi pada 2011.
Meski terkenal sebagai sentra beras, iklim dan kondisi tanah
Banyuwangi juga cocok untuk budidaya nilam. Kebetulan, Kukuh berasal
dari daerah ujung timur Pulau Jawa itu.
Lantaran daun nilam baru bisa dipanen setiap enam bulan, Kukuh punya
banyak waktu luang. Saat itu, sawah para petani padi di sekitar
Banyuwangi sedang dilanda hama wereng parah. Para petani pun meminta
bantuannya untuk membasmi hama tersebut dengan memanfaatkan nilam. Usaha
ini berhasil, Kukuh makin dikenal di kalangan petani.
Pria 27 tahun ini memang pandai mencium peluang. Pergaulan dengan
para petani memberinya ide untuk mengelola sawah. Kukuh terjun ke bisnis
pengelolaan sawah. Ada sekitar 30 hektare sawah yang berhasil ia
kelola.
Namun, ternyata dia belum puas. Akhirnya, Kukuh benar-benar terjun ke
bisnis beras, dari hulu ke hilir, dari menanam padi hingga menjadi
beras. Di saat bersamaan, dia juga memutuskan untuk mengakhiri bisnis
nilam dengan menjual tanamannya ke petani lain.
Kukuh tak cuma memproduksi beras. Dia juga menangkap peluang berbisnis sarana produksi pertanian (saprotan) yang menggiurkan.
Rajin sambar peluang
Jiwa dan semangat muda Kukuh terus bergelora untuk mengendus peluang
baru. Pada 2012, dia melihat ada kebutuhan benih padi berkualitas.
“Maklum, seperti pupuk yang mahal, petani juga menyukai benih yang
memiliki kualitas tinggi,” ujar dia. Merasa mampu membuat benih, Kukuh
pun segera mengajukan izin menjadi penangkar benih padi.
Namun, di tengah perjalanan ketiga bisnis itu, Kukuh melihat bisnis
berasnya tak bisa berkembang cepat. Dia memutuskan fokus hanya bergerak
di bidang saprotan dan penangkar benih padi berkualitas..
Dalam pengembangan bisnis saprotan, Kukuh melirik pembuatan herbisida
pembasmi rumput atau gulma. Namun, tantangan membuat herbisida ini
sangat besar. Selain harus berhadapan dengan perusahaan multinasional,
pengajuan izin memakan waktu lama dan biaya produksinya besar. Maklum,
bahan baku herbisida masih 100% produk impor.
Kukuh pun terus mencari celah sekaligus solusi untuk membantu petani
membasmi rumput dengan biaya murah. Akhirnya, dia bersama dua rekannya,
menemukan adjuvant. Ini adalah bahan campuran untuk menurunkan dosis
racun pada herbisida, tanpa mengurangi kualitasnya mematikan gulma.
Untuk membedakan dengan produk lain, Kukuh menggunakan bahan organik
sebagai bahan baku adjuvant herbisida. “Karena produk lainnya banyak
menggunakan bahan kimia,” bisik dia. Produk Pandawa Agri Indonesia,
demikian bendera usaha Kukuh, yang cukup laris adalah Solut-ion. Produk
ini bisa menekan biaya pembelian herbisida petani hingga 50%.
Pengalaman menjadi tenaga riset dan pengembangan, saat masih
menggarap proyek kampus, membuat Kukuh lincah melakukan penelitian dan
mengintip hal-hal baru. Penggunaan herbisida di kebun-kebun sawit
Indonesia yang masih tinggi, menjadi celah untuk mengembangkan adjuvant
ini untuk kebun sawit. Perluasan pasar ini memakan waktu uji coba hingga
enam bulan. “Untuk kebun sawit, kami tawarkan efisiensi 15%–30%,”
terangnya.
Solut-ion ini juga yang mengantarkan Pandawa Agri meraih juara
pertama di Mandiri Young Technopreneur 2013. Dengan produk-produk
pertaniannya, Pandawa Agri bisa membukukan omzet senilai ratusan juta
rupiah setiap bulan. Kini, produksi adjuvant Pandawa Agri berkisar 5.000
liter–8.000 liter setiap bulan. Harga jualnya berkisar Rp 35.000 per
liter.
Pada bisnis benih, Pandawa Agri telah menangkarkan tujuh varietas
padi. Kapasitas penangkaran benih Pandawa Agri mencapai 250 ton saban
tahun, dengan harga jual benih berkisar Rp 9.000 hingga Rp 11.000 per
kilogram.
Bertahan di Banyuwangi
Idealisme untuk menjadi pengusaha sudah merasuki Kukuh Roxa Putra
Hadriyono sejak berstatus mahasiswa. Pengalaman kuliah sambil bekerja
memompa semangatnya untuk memiliki usaha sendiri. “Kami sudah punya
jaringan dan pengalaman. Sayang kalau dilepas,” ujar dia.
Memang, Kukuh tidak sendiri menempuh rimba bisnis. Ia berjalan
bersama dengan dua teman kuliahnya, yaitu Sigit Pramono dan Wahyudi.
Resep pertemanan mereka di dunia bisnis sederhana saja, yaitu menghadapi
suka duka bersama-sama. “Pernah kami tertipu sampai puluhan juta
rupiah, dan hampir empat bulan tak ada hasil apa-apa,” kenang Kukuh.
Sampai kini, Kukuh masih memusatkan bisnisnya di Banyuwangi. Itu juga
bagian dari idealismenya, yaitu memajukan industri pertanian di sana.
Maklum, Banyuwangi memiliki kualitas padi yang bagus di Jawa Timur.
Ada tiga kepala dalam satu badan, pasti bukan hal yang mudah. Namun,
hal itu tak menjadi soal bagi Pandawa Agri Indonesia. Lantaran bertemu
sejak bangku kuliah, Kukuh, Sigit dan Wahyudi bisa mengenal kapasitas
dan kemampuan masing-masing. “Kuncinya, bisa menempatkan diri
masing-masing,” kata Kukuh.
Kukuh menyebut, ia dan temannya punya keunikan. Kukuh, misalnya,
aktif berorganisasi. Tak heran, dia memiliki jiwa kepemimpinan, keahlian
bernegosiasi, dan presentasi.
Di Pandawa, dia pun dipercaya menduduki kursi sebagai direktur utama.
Selain memantau operasional perusahaan, Kukuh juga bertanggungjawab di
urusan marketing dan strategi.
Sementara, Wahyudi yang memegang produksi saprotan memiliki pribadi
yang melengkapi kelemahan Kukuh. Dan, Sigit Pramono di bagian
penangkaran benih, memiliki sifat ceria bagaikan lem yang menempel
keduanya. “Jadi, kami saling mengisi,” ujar Kukuh.
0 komentar:
Posting Komentar