Ada yang menarik dari McDonald’s dan Starbucks. Dua perusahaan ini punya merek besar di dunia makanan dan minuman.
Menurut
Yougov BrandIndex, ada 33 persen orang yang cinta McDonald’s tetapi ada
29 persen juga yang benci McDonald’s. Ada yang bilang menunya enak dan
praktis. Ada yang bilang menunya tidak sehat dan tidak istimewa. Sisanya
cenderung netral.
Potret yang sama juga ada di Starbucks. Ada
30 persen orang yang cinta dan ada 23 persen orang yang benci. Ada yang
tiap hari tidak pernah absen minum Starbucks. Ada yang mencibir harga
yang terlalu mahal untuk kopi yang biasa saja.
Jika memang
selisih antara yang cinta dan benci cuma 4 persen untuk McDonald’s dan
7 persen untuk Starbucks, mengapa dua merek ini tetap berjaya di seluruh
dunia?
Jawabnya: cinta dan benci tidak semudah rumus matematika yang saling mengurangi. Fenomena dua merek ini disebut brand polarization. Semakin banyak non-fans mengungkapkan kebencian (haters) terhadap merek tertentu, semakin besar fans (lovers) yang akan membela. Dengan catatan, tentu saja, merek tersebut masih ada unsur positif yang layak dibela.
Inilah lucunya konsep brand advocacy.
Merek yang dianggap WOW dan dicintai banyak orang belum tentu tidak
punya haters. Tokoh besar dunia seperti Obama dan Jokowi sekalipun punya
haters.
Jadi, jangan khawatir jika merek atau bahkan Anda sendiri punya haters. Justru merek-merek terbaik di dunia punya jumlah lovers dan haters
yang hampir sama! Merek yang terpolarisasi seperti ini adalah tanda
tajamnya identitas merek tersebut. Merek seharusnya tidak berusaha
menyenangkan semua orang tetapi hanya menyenangkan segmen pasarnya
sendiri.
Lantas, apa yang harus Anda lakukan jika merek Anda terpolar?
Ada dua pendekatan. Anda bisa coba mengubah haters menjadi lovers. Ini susahnya bukan main. Atau Anda bisa coba fokus hanya pada lovers dan biarkan mereka yang membela Anda. Jangan takut di-bully! Jika Anda fokus memperkuat karakter merek Anda dan me-WOW segmen pasar, nanti ada yang bela.
0 komentar:
Posting Komentar