Populasi sepeda motor makin besar di tanah air. Jumlah pengendara
motor terus bertambah karena produsen sepeda motor menggeber penjualan
produknya mencapai target yang ditentukan.
Tak hanya menguntungkan pabrik sepeda motor, pertumbuhan jumlah
kendaraan roda dua ini juga memperbesar peluang bagi para produsen
pernak-pernik yang berhubungan dengan pengendaranya. Salah satu
kebutuhan pengendara sepeda motor adalah jas hujan.
Mohamad Said, produsen jas hujan dengan merek Acold, mengatakan,
permintaan jas hujan meningkat dari tahun ke tahun, mengikuti
pertumbuhan jumlah sepeda motor. “Bukan hanya dibutuhkan oleh pemilik
sepeda motor baru, pengendara sepeda motor lama juga mengganti jas hujan
mereka,” terang pria 36 tahun ini.
Mencium peluang ini, tak heran, Said yang sebelumnya menjadi reseller produk
jas hujan merek lain, memutuskan untuk terjun sebagai produsen jas
hujan. Pada 2011, dia memulai pembuatan jas hujan dengan modal Rp 100
juta.
Said khusus memproduksi jas hujan berbahan kain parasut balon atau
taslan. Dia bilang, meski banyak pemain dalam usaha ini, belum banyak
yang menggunakan jenis kain taslan sebagai jas hujan. “Lebih banyak
produsen yang menggunakan bahan karet atau poly vinyl chlorie (pvc),” kata dia.
Pemain lain dalam usaha ini adalah Helmansyah. Pria yang baru berusia
24 tahun ini memproduksi jas hujan di Bogor, Jawa Barat. Ketika masih
kuliah di Bogor, Helman juga menjadi reseller produk jas hujan dengan merek lain. Lantas, ketika permintaan membludak, dia kehabisan stok.
Dari situlah, Helman melihat peluang dalam usaha pembuatan jas hujan
terbuka lebar. Helman butuh tiga bulan untuk mempersiapkan usahanya. Dia
mulai membuat jas hujan akhir 2012 dengan merek Edelweiss.
Menurut Helman, salah satu kunci utama usaha ini adalah menetapkan
pangsa pasar. Jika target yang disasar sudah jelas, maka penentuan
kualitas dan harga produk sekaligus strategi pemasaran bakal lebih
mudah.
Misalnya Helman yang menyasar kelas menengah ke atas. Bagi kelas
ekonomi ini, produk yang dibutuhkan ialah produk yang berkualitas. Jadi,
harga bukan nomor satu untuk dipertimbangkan oleh mereka.
Demikian halnya yang dilakukan Said. Lantaran menggunakan taslan,
Said pun menyesuaikan target pasarnya, yakni kalangan menengah atas. Dia
berani mengambil langkah itu, karena saat menjadi reseller jas
hujan, ia menilai, terjadi pergeseran minat konsumen. “Seiring
peningkatan daya beli, konsumen cenderung memilih jas hujan dengan
kualitas dan model yang baik,” terang Said.
Jas hujan Acold berbanderol mulai Rp 250.000 per piece. Harga ini berlaku untuk penjualan di reseller.
Said menyiapkan jas hujan yang model mirip jaket itu dalam beberapa
ukuran, hingga XXL dan XXL. Khusus untuk ukuran besar, XXL dan XXXL
harganya Rp 260.000 dan Rp 270.000.
Setiap hari, Said bisa membuat hingga 50 potong jas hujan.
Produksinya akan bertambah banyak jika musim hujan tiba. Pasalnya, saat
musim hujan, yang berlangsung dari bulan November, Desember, Januari
hingga April, permintaan jas hujan sangat tinggi.
Sebab, “Biasanya, orang juga akan mengganti jas hujannya dengan yang
baru ketika musim hujan datang,” kata Said. Bahkan, dalam dua tahun ini,
dirinya kerap kewalahan memenuhi permintaan yang datang saat musim
hujan. Tren itu yang menjadi alasan Said meningkatkan kapasitas produksi
hingga kisaran 70 potong – 100 potong setiap harinya. Kini, saban
bulan, Said bisa mengantongi omzet hingga Rp 100 juta. Adapan laba
bersihnya berkisar 15% – 20%.
Meski pasar terbesar ada di Jabodetabek, yakni berkisar 70% – 80%
dari total penjualan Acold, pesanan rutin dan banyak datang dari luar
Jawa. Said bilang, banyak pula permintaan dari Papua dan Timika karena
kedua lokasi itu hujan lebih sering. “Hujan di sana turun bukan hanya
saat musim hujan,” terang dia.
Atur produksi
Awalnya, Helman memasarkan sendiri produknya. Ia mengikuti beberapa
komunitas untuk mempromosikan jas hujannya. Lama-kelamaan permintaan
membludak, sehingga ia butuh saluran tambahan untuk penjualan produk.
Setelah enam bulan menjalankan usahanya, Helman memilih jalur reseller. “Reseller mempermudah pengeluaran barang sehingga saya tak harus ke lapangan. Selain itu, adanya reseller mempermudah konsumen untuk mendapatkan barang saya,” ujar dia.
Di tingkat reseller, ia menjual jas hujan Edelweiss seharga Rp 150.000 per piece. Helman bilang, di tangan reseller harga bisa meningkat jadi Rp 200.000 per potong. Dalam sebulan, Helman bisa memproduksi 400 pieces jas hujan.
Produksi meningkat pesat pada musim hujan. “Kalau musim hujan atau
selama September hingga April, kami sering kewalahan menangani orderan
karena dalam sebulan bisa sampai 2.000 pieces,” katanya. Jadi, rata-rata omzet Helman berkisar Rp 70 juta – Rp 150 juta saban bulan. Adapun laba bersihnya sekitar 20%.
Helman menjelaskan, cara pembuatan jas hujan mirip dengan pembuatan
pakaian orang dewasa. Awalnya, ia membuat pola pakaian di atas bahan
baku berupa taslan lateks. Selanjutnya, proses pengguntingan sesuai
dengan pola. “Setelah itu masuk proses menjahit, lalu jas hujan diberi
filling dan puring dengan bahan yang sama,” ucap dia.
Bahan baku pembuatan jas hujan diproduksi di Korea. Namun, taslan
bisa dengan mudah didapatkan di distributor bahan baku pakaian di dalam
negeri. Harga taslan berkisar Rp 23.000 –Rp 25.000 per yard atau
sepanjang 90 cm. Satu jas hujan membutuhkan tiga sampai empat yard
taslan.
Helman menambahkan, saat ini banyak taslan latex buatan dalam negeri.
Namun, kualitasnya belum bisa menyerupai bikinan Korea Selatan. “Taslan
dari Korea bisa tahan digunakan sampai dua tahun. Tapi bahan dari
Indonesia hanya tahan tiga bulan, lalu robek. Sebenarnya, taslan Korea
tipis, tapi ada lapisan dalam yang mencegah air tembus,” tegas dia.
Setelah dijahit, jas hujan belum bisa langsung dikemas. Pasalnya, ada
satu proses yang tak boleh dilewatkan yakni pressing jas hujan. Gunanya
menghindari air merembes melalui celah yang ada pada jas hujan.
Untuk menghemat ongkos produksi, Helman tidak menggunakan mesin pres.
Jadi, Helman mengepres jas hujan secara manual dengan setrika. “Kalau
menggunakan setrika memang jadi lambat tapi hasilnya sama saja, bahkan
kalau ada kesalahan sedikit, proses mengepres bisa diulang, berbeda
kalau menggunakan mesin yang otomatis,” tandasnya.
Saat merintis usaha pembuatan jas hujan, Helman hanya mengeluarkan
modal Rp 22 juta. Modal itu ia gunakan untuk membeli mesin jahit dan
bahan baku. “Sebenarnya mesin pres juga dibutuhkan. Tapi harganya mahal,
bisa sampai Rp 50 juta,” tutur dia.
Berbeda dengan Helman, Said mengandalkan mesin pres untuk melapisi
bagian jahitan supaya tidak rembes air. Dia memilih menggunakan mesin
untuk menghemat waktu dan meminimalisasi risiko kerusakan jas hujan saat
disetrika. Tak heran, dia mengeluarkan modal lebih besar untuk membeli
mesin pres.
Sama seperti usaha pembuatan pakaian, untuk merintis usaha ini, Anda
bisa mulai dengan konsep maklon. Said juga memakai konsep ini untuk
produksi jas hujan pada tahap awal. Namun, seiring pertumbuhan
perusahaannya, kini dia sudah mempekerjakan tujuh penjahit tetap di
workshop-nya. Jasa maklon pun masih dibutuhkan, ketika datang permintaan
dalam jumlah besar.
Karena jasa penjahit memegang peranan penting dalam usaha ini, Anda
juga harus cermat dalam memilih penjahit. Pasalnya, tak semua penjahit
mahir menjahit jas hujan. “Butuh waktu penyesuaian sekitar sebulan untuk
membiasakan para penjahit membuat produk ini,” kata Said.
Ingat, selain bahan yang kuat, kekuatan jahitan juga menentukan
kualitas jas hujan. Setiap hari, seorang penjahit bisa menyelesaikan
antara 5 potong– 7 potong jas hujan.
Ketersediaan penjahit juga menjadi kendala. Bahkan, Said menemui,
sejumlah penjahit justru beralih profesi. “Mereka malah menjadi tukang
ojek, karena pekerjaannya lebih mudah,” kata dia.
Jika terpaksa memakai jasa maklon, Anda pun harus memberi perhatian
ekstra terhadap mereka. Seperti Said bilang, sistem maklon butuh kontrol
yang ketat terhadap kualitas, produksi dan ketepatan waktu.
Selanjutnya, Helman bilang, belanja bulanan terbesar untuk usaha ini
jatuh pada pembelian bahan baku taslan dan aksesoris lain seperti zipper dan
tali tas. Pembelian bahan baku mencomot hingga 60% pengeluaran bulanan.
Selain itu, pengeluaran lain ialah membayar gaji karyawan, sewa tempat,
dan biaya operasional.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam usaha ini adalah strategi
untuk mengatur stok. Karena permintaan pada musim hujan seringkali
membanjir, Anda harus pandai mengatur produksi supaya pada saat musim
hujan mampu memenuhi permintaan yang ada.
Maklum, saat musim kemarau tiba, Said bilang, permintaan jas hujan
banyak berkurang. Itu artinya, pendapatan berkurang, sementara Anda
harus tetap mempertahankan produksi. “Produsen harus siap dengan modal
yang cukup besar untuk produksi,” kata Said.
Kini, apakah Anda siap terjun menjadi produsen jas hujan?
Perhatikan desain untuk fungsi maksimal
Peluang usaha pembuatan jas hujan cukup menjanjikan. Pasarnya sangat
luas mengingat jumlah pengendara motor yang kian bertambah. Akan tetapi,
kompetisi usahanya pun sangat kencang. Apalagi pemain di usaha ini
bukan hanya datang dari dalam negeri. Merek-merek jas hujan dari luar
negeri, misalnya dari China pun jadi pesaing yang tak bisa disepelekan.
Karena itu, supaya bisa tetap bersaing, ada baiknya, Anda menciptakan
produk harus memiliki nilai lebih atau punya keunggulan. Seperti yang
dilakukan oleh Mohamad Said, pemilik usaha jas hujan Acold, yang sangat
memperhatikan kualitas dari produk yang ditawarkannya.
Meski hanya dipakai pengendara saat turun hujan, Said
mempertimbangkan desain jas hujan buatannya supaya bisa berfungsi dengan
maksimal. Salah satunya, dengan mengurangi sambungan yang dijahit.
“Sebab semakin banyak jahitan, risiko air merembes juga semakin besar,
meski jahitan itu sudah dipres,” terang dia.
Berbekal pengalamannya bergelut dalam bisnis jas hujan, Said
mengetahui apa yang sering menjadi keluhan konsumen. Dalam desain jas
hujan Acold terbaru, Said menghilangkan sambungan sisi dalam celana jas
hujan. Dia mengklaim, desain ini murni berasal dari idenya sendiri,
sehingga desain celana ini dipatenkan hanya untuk merek Acold.
Selain desain celana yang baru, bagian-bagian yang rentan terhadap
masuknya air juga dibuat berlapis. Demikian pula, untuk kantong pada
bagian depan jas hujan. Desain kantong juga mendapat perhatian Said,
supaya air hujan tidak masuk ke bagian kantong yang digunakan untuk
menyimpan barang milik pengendara motor.
Desain untuk bagian leher juga tidak luput dari perhatiannya. Supaya
air hujan tak tembus, Said merancang ketinggian bagian leher sesuai
dengan panjang rata-rata leher orang Indonesia. “Jangan sampai leher ini
terlipat keluar, karena air akan mudah masuk,” ujar dia.
Terakhir, kantong penyimpan jas hujan dibuat menyatu dengan jas hujan
tersebut. “Sebab, banyak konsumen yang mengeluh kantong jas hujannya
terselip dan hilang,” kata Said. Dengan berbagai penyesuaian desain yang
dilakukan ini, Said bilang, komplain konsumen berkurang.
0 komentar:
Posting Komentar