Banyak orang bergidik jijik ketika melihat geliat cacing. Hewan tak
bertulang belakang ini menimbulkan kesan menjijikkan bagi sebagian besar
orang. Namun beda halnya dengan Abdul Azis Adam Maulida. Bagi laki-laki
yang akrab disapa Adam ini, sejak empat tahun lalu cacing justru
menjadi sumber pendapatan.
Sejak menamatkan pendidikan sarjana di
Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Adam
sudah punya niat berwirausaha. Namun niat itu terkubur lantaran tak
menemukan ide usaha. Adam pun memutuskan menjadi karyawan di sebuah
pabrik kertas. Selama sepuluh tahun, Adam bekerja di PT Tjiwi Kimia, di
Mojokerto, Jawa Timur.
Baru pada 2010 dia meninggalkan pekerjaan
itu. “Menurut saya, kalau bekerja di perusahaan, seseorang susah
berkembang karena harus berhadapan dengan batasan dari sistem perusahaan
tersebut. Sementara di luar begitu banyak peluang yang menanti,” ujar
lelaki berusia 39 tahun ini.
Adam pun memantapkan diri untuk
memulai usaha sendiri. Ia kembali ke tanah kelahirannya, Malang, Jawa
Timur, pada awal 2010 dan memilih agribisnis dengan menggeluti budidaya
belut yang sedang ngetren kala itu. Adam menggelontorkan modal sebesar
Rp 20 juta, termasuk untuk membeli sekitar dua kuintal belut.
Namun,
Adam tak menyangka, banyak kendala dalam beternak belut. Sejak awal, ia
sering mendapati belut-belut itu mati. “Pokoknya, sulit sekali bagi
saya untuk membudidayakan belut sehingga hanya enam bulan saya beternak
belut,” kata dia. Padahal Adam sudah ikut berbagai seminar mengenai
pembiakan belut.
Yang tersisa hanyalah pakan belut, yakni cacing
tanah sebanyak empat kilogram. Dia mengamati, ketika semua belutnya
mati, cacing-cacing itu tetap bertahan, bahkan, berkembang. Dari situlah
Adam mendapat ide untuk membudidayakan cacing yang memiliki nama latin
Lumbricus rubellus.
Tepatnya, pada Agustus 2010, Adam mulai
membiakkan cacing tanah. Sebelumnya, dia mempelajari seluk-beluk
budidaya cacing tanah. Selain membaca buku, Adam juga belajar secara
autodidak dengan praktik langsung di lapangan.
Dengan modal Rp
200.000, ayah seorang anak ini membeli indukan cacing. Selanjutnya,
untuk media, dia membeli kotak kayu ukuran 40 cm x 50 cm yang ditumpuk
hingga 12 tingkat. Jadi, Adam tak perlu lahan yang terlalu luas.
Adam
tak perlu membeli makanan cacing. Cacing bisa diberi makan dari limbah
rumahtangga maupun limbah pasar. Ia mengolah limbah dari para
tetangganya untuk dijadikan pakan cacing. “Cara membudidayakan cacing
memang sangat mudah. Makanya saya tertarik dan tak pernah berpikir untuk
berhenti sampai sekarang,” tutur dia.
Bapak cacing
Adam
mengaku, ketika mulai merintis budidaya cacing, dia belum mendapatkan
pasar sama sekali. Hingga pada akhir 2010, dia mendapat titik terang.
Seorang pemilik tempat pemancingan mendatangi peternakannya untuk
memesan cacing.
Dulu, Rumah Cacing, nama peternakan cacing milik
Adam, hanya bisa memproduksi lima kilogram cacing per minggu. Akan
tetapi, kini, dia bisa memproduksi hingga tujuh ton cacing tanah per
bulan. Omzetnya pun meningkat pesat. Dalam sebulan Adam bisa mengantongi
sekitar Rp 300 juta.
Adam bilang, ia butuh proses cukup panjang
untuk bisa menemui kesuksesan seperti saat ini. Setelah memasok cacing
untuk beberapa tempat pemancingan di Malang, Adam semakin giat
meningkatkan produksi. Nama Adam pun mulai dikenal penduduk Malang. Ia
bahkan disebut-sebut orang sebagai Bapak Cacing.
Pada 2011 ia
mendapat order untuk memasok cacing oleh Dinas Perikanan Provinsi Jawa
Timur. Sayang, Adam belum bisa langsung menyanggupi. Pasalnya, produksi
cacingnya per bulan belum mencapai satu ton, seperti permintaan Dinas
Perikanan itu.
Tak hilang akal, Adam menularkan ilmunya ke orang
lain. Dia melakukan sosialisasi soal cacing ke masyarakat di sekitar
Malang, sekaligus mengajak mereka untuk ikut membudidayakan cacing.
“Saya ajak mereka untuk datang ke Rumah Cacing, lalu saya ajari cara
beternak cacing,” ucap dia.
Di awal, usaha ini belum berbuah
banyak. Hanya ada dua orang yang mau bergabung dengan Adam. Lalu, Adam
mengembangkan sistem plasma dengan lebih terkoordinasi. Dengan sistem
plasma, siapa pun yang bergabung akan mendapat pelatihan dari Rumah
Cacing. Selanjutnya, Adam akan membeli hasil panen cacing dari anggota
plasma.
Sampai saat ini, Adam sudah memiliki sekitar 1.600 anggota
plasma. Namun, tidak semua anggota bisa konsisten memasok cacing
padanya. “Dari keseluruhan jumlah anggota, sekitar 700 orang aktif
menjual hasil panennya pada saya,” kata dia.
Suami Heni Nur
Rahmania ini bilang, dalam sehari bisa disambangi sekitar 100 orang yang
ingin belajar budidaya cacing. Adam menuturkan, budidaya cacing
sebenarnya sangat gampang. Lagipula tingkat keberhasilan budidaya cacing
hampir 100%. Hanya, informasi mengenai peluang budidaya cacing masih
tergolong sedikit.
Sejauh ini, Adam tak menemukan penyakit atau
hama yang mengganggu pertumbuhan cacing. “Kalau sudah tahu peluang
usahanya pasti tertarik karena mudah,” tandas dia.
Selain
mengandalkan pasok-an dari anggota plasma, Adam pun masih terus
memproduksi cacing. Bedanya, sekarang ia sudah memperkerjakan delapan
orang karyawan. Kandang cacing pun sudah tak menggunakan kotak kayu
lagi. Adam membangun 100 kolam yang dibuat dari batubata. Sekarang, Adam
jadi pemasok utama cacing tanah untuk Dinas Perikanan Provinsi Jatim.
Ia juga masih melayani penjualan kepada para pemilik usaha pemancingan
dan pengusaha perikanan.
Pengusaha tak bisa berhenti
Menanggalkan
status karyawan di perusahaan besar bukan hal mudah bagi Abdul Azis
Adam Maulida. Kedua orangtuanya sempat menentang. Maklum, mereka bekerja
sebagai pegawai negeri sipil. Jadi ketika Adam mengungkapkan keinginan
untuk menjadi pengusaha, langsung tak mendapat respons baik dari
orangtuanya.
Namun tekad Adam sudah bulat, meski dia sadar,
usahanya tak langsung besar dalam sehari. “Setidaknya saya keluar dari
sistem perusahaan dan bisa menciptakan sistem saya sendiri dengan
potensi yang saya punya,” tutur Adam.
Dia berpesan, pengusaha
harus terus berkembang. Tak ada lagi batasan yang menghalangi untuk
berkembang selain diri sendiri. “Pelajari dulu peluang usaha. Kalau
memang bagus, terus kembangkan, jangan berhenti karena pengusaha tak
boleh mandek,” tegasnya.
Adam menegaskan peluang berbudidaya
cacing masih sangat terbuka. Pembeli cacing sangat beragam, mulai
pengusaha perikanan, peternak unggas hingga industri kosmetik dan
farmasi. Tahun ini, Adam ingin menyasar industri farmasi. Namun, dia
ingin membenahi produksinya sebelum memasok pasar baru. “Saya akan
menambah anggota plasma untuk mendongkrak produksi,” ucap dia.
Adam
menambahkan, dari budidaya cacing, ia bisa mengembangkan banyak potensi
bisnis yang lainnya. Sejauh ini, Adam sudah merintis berbagai usaha
yang masih berhubungan dengan bisnis utamanya. Misalnya saja, kebun jahe
organik yang dikembangkan dengan pupuk dari kotoran cacing.
Selain
itu, dia memiliki peternakan kambing, ayam, dan empang ikan yang akan
mengonsumsi cacing untuk penggemukan. “Saya ingin kembangkan lebih
banyak lagi dan saya juga memotivasi anggota plasma untuk sama-sama
berkembang,” ungkap dia.
0 komentar:
Posting Komentar