Batik, bukan hanya dominasi orang Jawa
daratan. Di ujung Madura, tepatnya di Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan,
batik menjadi salah satu warisan budaya yang menyimpan nilai-nilai
ekonomis tersendiri.
Di Tanjung Bumi ini memang banyak terdapat
usaha kecil menengah (UKM) kerajinan batik, salah satunya Jokotole. Di
tempat ini, ada empat perempuan yang bertugas menutup warna, dan dua
orang yang bertugas menjemur. Sebanyak 22 perempuan lainnya tergabung
dalam komunitas Jokotole, sebagai mitra.
Pemilik Jokotole,
Uswatun Hasanah memang belum begitu lama memulai usaha ini, yakni pada
2011 lalu. "Batik inilah yang menjadi aset Bangkalan. Tapi pada waktu
itu banyak yang berhenti membatik. Alasannya, sudah dibikin tapi tidak
ada yang beli. Saya bilang, sudah kita bikin lagi, nanti pemasarannya
saya bantu," kata Uswatun.
Akhirnya, puluhan perempuan di Tanjung Bumi saat ini kembali berkarya, menghasilkan batik khas Bangkalan.
Sama
seperti daerah-daerah lain, batik Bangkalan juga memiliki kekhasan,
misalnya dalam corak dan warna. Uswatun mengatakan, merah, hijau,
kuning, dan biru adalah warna khas batik Madura umumnya, termasuk di
Bangkalan ini. Sementara itu corak yang umum adalah akar-akaran dan sik malaya.
Warna
hijau mencerminkan sisi-sisi religi masyarakat Madura, sedangkan warna
kuning melambangkan padi yang menguning. Adapun warna biru menunjukkan
bahwa wilayah Madura dikelilingi oleh lautan biru. "Warna merah
melambangkan keberanian, tapi bukan dalam konotasi yang negatif.
Maksudnya adalah berani mempertahankan harga diri," ucap dosen
kewirausahaan di Universitas Trunojoyo itu.
Batik GentonganSetiap
bulan, bengkel Jokotole mampu menghasilkan 300 hingga 500 lembar batik.
Sama seperti batik pada umumnya, proses pengerjaan batik biasa memakan
waktu paling lama satu minggu. Dimulai dari melajur atau membuat pola,
lalu mewarnai, melilin, melorot, mencelup, melorot lagi, lalu mencelup
lagi, dan baru kemudian menjemur, satu lembar batik berukuran 220x110cm
dibanderol Rp 200.000.
Namun, lain halnya dengan batik
gentongan. Uswatun menuturkan, perbedaannya terletak pada proses
perendaman. Batik gentongan yang menggunakan pewarna alami, seperti
akar-akaran direndam dalam gentong terlebih dahulu. "Prosesnya pun
memakan waktu 2 hingga 6 bulan," imbuh Uswatun.
Ekspor ke Jepang
Lamanya proses pengerjaan batik gentongan, menjadikan harganya pun jauh
lebih tinggi dibanding batik Bangkalan biasa. Jika batik biasa dihargai
Rp 200.000 per lembar, dengan ukuran sama maka batik gentongan dihargai
paling murah Rp 1 jutaan.
Uswatun mengatakan, meski mahal,
nyatanya beberapa pembeli kepincut memiliki batik gentongan. Tak hanya
kalangan tertentu pasar domestik saja, tapi juga orang-orang Jepang,
China, dan Malaysia.
Uswatun mengaku, sejak mengikuti program
Wira Usaha Bank Indonesia (WUBI) 2014, omzetnya melejit menjadi Rp 106
juta per bulan, dari sebelumnya Rp 22 juta per bulan pada 2011. "Tapi
itu baru untuk batik biasa yang kita produksi rutin untuk dijual oleh reseller. Belum termasuk batik gentongan, karena batik gentongan bikinnya by order," lanjut dia.
Dia
menambahkan, pelatihan dan promosi yang didapatnya dari program WUBI
jauh lebih bermanfaat ketimbang bantuan permodalan. Sebab, dari kegiatan
tersebut, Uswatun bisa berkenalan dengan buyers potensial. Meski
terbantu program WUBI dari sisi pemasaran, Uswatun menuturkan,
pengurusan izin ekspor masih menjadi kendala.
"Mengurus perizinan untuk ekspor ke Malaysia ribet, bolak-balik ke kelurahan, ke kecamatan. Masing-masing dimintain," kata dia.
Untuk
menyiasati perizinan yang rumit, Uswatun meminjam bendera rekannya
untuk melakukan kegiatan ekspor. Produk Jokotole pun mulai merambah
pasar manca sejak September 2014 lalu. "Pertama ekspor ke Jepang 60
potong. Malaysia lebih dari 100 potong. China baru 50-an potong, karena
kita baru pengenalan ke mereka," tukas Uswatun.
0 komentar:
Posting Komentar