KETIKA para elite sibuk membuktikan soal
perkalian, Nenek Fatimah (dan juga politisi Senayan) justru kesulitan
memecahkan ”soal bagi-bagian”.
Harta suami Nenek Fatimah (tanah
3.600 m2) sudah dijual, lalu dibagi-bagi untuk keempat anaknya. Sisa
uang dipakai untuk membeli tanah dari menantu seluas 397 m2 dan
ditempati bersama kedua anaknya. Ia tak habis pikir, di usia tuanya (90
tahun) dituntut anak dan menantunya senilai Rp 1 miliar dari tanah yang
kini ditempatinya.
Sang mantu punya pandangan berbeda. Uang
katanya belum diterima. Gugatan Rp 1 miliar pun diajukan. Tetapi, uang
bukanlah tujuan, ujar sang mantu. Ia ingin pengakuan. Nenek renta pun
diseret ke pengadilan. Pengacara menunjukkan dalilnya ada.
Di
parlemen, hal serupa kita saksikan. Sebanyak 44 jabatan pada 11 komisi
ditambah empat badan (Baleg, BURT, Banggar, dan Majelis Kehormatan)
harus bisa dibagi dengan adil. Tetapi, orang-orang pandai itu gagal
membagi. Ada apa sebenarnya di negeri ini? Kian terdidik, mengapa kian
sulit berbagi? Tak banyak sarjana yang paham bahwa untuk menggunakan
kecerdasan dibutuhkan kecerdasan juga.
Metakognisi lemah
Jika
di atas langit ada langit, di atas kognisi juga ada kognisi. Itulah
kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan (metakognisi), yang kalau
dipakai dengan baik bisa melahirkan manusia-manusia bijak yang lidahnya
lembut dan kacamatanya bening.
Secara matematika Anda benar 25
dibagi lima adalah lima. Tetapi, dalam kehidupan ada kebajikan,
keadilan, empati sosial, rasa persatuan, kekeluargaan, hubungan jangka
panjang, dan pertimbangan lain di samping nafsu angkara dan keserakahan.
Tanpa metakognisi, orang yang kognisinya kuat jadi terlihat bodoh.
Belas kasih, keadilan, rasa hormat, dan kebijaksanaan disingkirkan demi
”dalil kemenangan”.
Para penegak hukum dan wakil rakyat juga
terperangkap dalam waham kognisi yang sangat kuat dengan dalil-dalil dan
rumus kekuasaan. Padahal, hukum ditegakkan bukan untuk kebenaran logika
dan siapa yang menguasai atau yang benar semata. Ia bukanlah sebuah
simbolic game seperti matematika kognisi yang menyederhanakan
representasi dan keberalasan. Hukum ditegakkan untuk membentuk keadilan,
dan begitu kita gagal melakukannya, ia dapat membahayakan struktur
bangunan demokrasi bak sebuah bendungan besar yang alih-alih memberi
manfaat bagi pertanian, malah menyumbat arus perubahan sosial (Martin
Luther King, Jr).
Nurhalim (menantu Fatimah) dan istrinya
(Nurhana) mungkin saja benar dan tahu dalil hukum lebih baik dari ibunya
yang buta huruf. Tetapi, ia tak cukup cerdas untuk menaklukkan
kecerdasannya di tengah-tengah empati sosial yang menempatkan ibu
sebagai sosok yang dihormati. Apalagi kita hidup dalam peradaban kamera
yang serba terbuka.
Sama saja dengan para aktor politik yang
berkuasa. Mereka yang memegang palu dan duduk di barisan pemimpin bisa
menetapkan siapa saja yang boleh duduk di jabatan yang akan dibagikan.
Tetapi, arogansi dan kebencian bukanlah sesuatu yang diinginkan pemberi
suara.
Metakognisi dari bawah
Ada yang menyatakan kognisis
tentang kognisi itu didapat para bijak bestari di usia lanjut. Saya
menyatakan, metakognisi justru dibentuk sedari muda, dari kanak-kanak
hingga remaja dan saat seseorang menggali ilmu di perguruan tinggi.
Justru dengan menyaksikan si mulut-mulut besar bertengkar di panggung
politik atau anak yang mengadili ibunya di ruang sidang pengadilan, kita
bisa membaca seberapa baik mereka dididik di usia muda.
”Seberapa
baik” itu berbeda dengan seberapa pintar menurut ukuran-ukuran yang ada
di dalam rapor atau ijazah. Ia tak tecermin dalam nilai matematika,
bahasa, sejarah, atau IPA kalau pendidikan tidak kita ubah. Ia juga tak
didapat dengan memberi les Kumon kepada anak-anak secara intensif atau
memenangi olimpiade-olimpiade sains.
Pendidikan itu bukan
memisah-misahkan kognisi dengan non-kognisi sehingga menambah mata
ajaran atau jumlah guru. Seharusnya, sambil berhitung, anak-anak
mengingat aturan permainan. Sambil membuat work sheet keuangan,
seorang calon akuntan diajak melihat pergulatan rakyat kecil mengais
sampah. Dan sambil mendalami dalil-dalil hukum, seorang calon sarjana
diajak berdialog dengan keluarga narapidana (apalagi salah sasaran) dan
hartanya habis untuk membayar pengacara.
Di atas hukum ada
keadilan, di atas kertas ada kebenaran, dan di atas ilmu pengetahuan ada
kebijaksanaan. Para ilmuwan harus mulai terbiasa mengajarkan cara-cara
berpikir di atas dalil-dalil kognisi untuk mencetak politisi-politisi
berbudi luhur dan anak harimau yang tak menerkam ibunya sendiri di kala
lapar.
Sumber : kompas.com
*) Dalam Hukum Ekonomi, untuk mencapai kemakmuran harus dengan pemerataan. Dimana dengan demikian akan ada pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan akan tercapai. Mari Kita Berbagi !!!
0 komentar:
Posting Komentar