Laman

Minggu, 30 November 2014

Menjual dengan Air Mata

Omah Blogger
Saluran televisi dan laman Youtube yang bisa diakses dari segala penjuru dunia akhir-akhir ini dibanjiri oleh "sadvertising", iklan bernuansa sedih dan mengharukan. Iklan-iklan ini menyuguhkan cerita inspirasional, emosional, dan tidak jarang mengundang tangis.

Fenomena tersebut disadari oleh kontributor Fastco Create, Rae Ann Fera. Mengapa iklan semacam ini mulai sering kita saksikan? Alasannya sederhana, karena iklan tersebut berhasil menggaet pasar.

"Ahli neuroscience (ilmu syaraf) menawarkan lebih banyak bukti bahwa pendekatan yang lebih 'lembut' untuk berjualan telah benar-benar berhasil. Argumen antara hati melawan kepada dalam periklanan bukan hal baru, tentu saja," ujar Fera dalam artikelnya.

Hal senada juga disadari oleh pendiri dan Chief Creative Officer perusahaan periklanan Barton F. Graf 9000, Gerry Graf. Dia bahkan bercerita bahwa salah satu klien meminta perusahaannya membuat iklan yang mampu membuat penontonnya menangis.

Graf mengatakan, "(Iklan semacam) ini ada di mana-mana. Emosional menjadi buzzword (kata kunci) akhir-akhir ini. Saya mendengarnya sepanjang waktu dari klien-klien saya. Saya pernah memiliki seorang klien yang mengatakan pada saya, 'Saya mau membuat iklan yang membuat orang menangis.'"
Menurut hemat Graf, para pemilik perusahaan mulai menyadari bahwa video dan iklan yang mengundang tangis jauh lebih banyak dibagi dan lebih banyak mendapat perhatian masyarakat. Namun, muncul pertanyaan lain, mengapa masyarakat menyukai iklan semacam ini?

"Saya rasa kita hidup dalam dunia yang sangat digital, selalu tersambung dengan internet, namun kita masih merasa disconnected (terpisah) dari orang lain. Sebagai manusia, kita mencari hubungan antarmanusia yang sebenarnya dan saya pikir cara bercerita yang emosional tersebut mampu membantu menjembatani hal tersebut," ujar Chief Creative Officer 180, William Gelner.

Menurut hemat Gelner, membuat iklan yang menguras air mata penontonnya sebenarnya bukan hal baru. Hanya saja, dulu masyarakat belum punya televisi di saku mereka. Kini, siapa pun dan kapan pun bisa menyaksikan "televisi" lewat telepon genggamnya. "Saya rasa ada hubungannya dengan itu. Anda kini bisa mengkonsumsi cerita tersebut di mana pun Anda berada," ujarnya.

Hal senada disampaikan pula oleh ECD Saatchi & Saatchi, Peter Moore Smith. "Saya percaya bangkitnya hasil kerja yang emosional karena iklan yang menimbulkan respon emosional lebih shareable (lebih mudah dibagi). Titik yang membuat Anda tersenyum atau bahkan tertawa bisa menjadi menarik jika dikerjakan dengan baik. Namun, hal yang membuat Anda merasakan sesuatu yang lebih dalam, selama tidak memualkan atau manipulatif, merupakan sesuatu yang ingin Anda bagi," ujarnya.

Lantas, berdasarkan komentar ahli dan para pelaku periklanan, dapat disimpulkan bahwa iklan semacam ini memang ada dan wajar. Keberadaan "sadvertising" tidak perlu disanggah dan tidak perlu ditolak. Namun, ada hal-hal yang perlu dilakukan agar masyarakat tidak mudah jemu mendapati iklan semacam ini.
EVP dan Chief Creative Officer RPA Joe Baratelli mengungkapkan bahwa "sadvertising" harus tetap segar dan cerdas. Baratelli, yang sudah lama bekerja untuk bagian kreatif Honda, menekankan bahwa sudah ada begitu banyak cerita sedih. Maka itu, cerita sedih dalam iklan harus dijaga kesegarannya.

Bagaimana pun cara insan pariwara menyajikan hasil kerjanya dalam merepresentasikan citra sebuah produk, pada akhirnya kualitas juga yang berbicara. Executive Creative Director Wieden+Kennedy, Joe Staples, mengatakan, "Jika kita jujur dan rendah hati, serta penuh rasa keingintahuan dan bekerja keras, hasil kerja kita akan berakhir sangat sesuatu. Mungkin sangat lucu, mungkin sangat menganggu, mungkin sangat sedih, sangat emosional, atau sangat konyol. Hal itu akan sangat kuat pengaruhnya karena emosinya nyata dan saya pikir seharusnya itulah tujuannya."

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com