Laman

Sabtu, 13 Desember 2014

Batik Madura Merambah Jepang

www.omahbloggermagelang.com
Batik, bukan hanya dominasi orang Jawa daratan. Di ujung Madura, tepatnya di Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, batik menjadi salah satu warisan budaya yang menyimpan nilai-nilai ekonomis tersendiri.

Di Tanjung Bumi ini memang banyak terdapat usaha kecil menengah (UKM) kerajinan batik, salah satunya Jokotole. Di tempat ini, ada empat perempuan yang bertugas menutup warna, dan dua orang yang bertugas menjemur. Sebanyak 22 perempuan lainnya tergabung dalam komunitas Jokotole, sebagai mitra.

Pemilik Jokotole, Uswatun Hasanah memang belum begitu lama memulai usaha ini, yakni pada 2011 lalu. "Batik inilah yang menjadi aset Bangkalan. Tapi pada waktu itu banyak yang berhenti membatik. Alasannya, sudah dibikin tapi tidak ada yang beli. Saya bilang, sudah kita bikin lagi, nanti pemasarannya saya bantu," kata Uswatun.

Akhirnya, puluhan perempuan di Tanjung Bumi saat ini kembali berkarya, menghasilkan batik khas Bangkalan.

Sama seperti daerah-daerah lain, batik Bangkalan juga memiliki kekhasan, misalnya dalam corak dan warna. Uswatun mengatakan, merah, hijau, kuning, dan biru adalah warna khas batik Madura umumnya, termasuk di Bangkalan ini. Sementara itu corak yang umum adalah akar-akaran dan sik malaya.

Warna hijau mencerminkan sisi-sisi religi masyarakat Madura, sedangkan warna kuning melambangkan padi yang menguning. Adapun warna biru menunjukkan bahwa wilayah Madura dikelilingi oleh lautan biru. "Warna merah melambangkan keberanian, tapi bukan dalam konotasi yang negatif. Maksudnya adalah berani mempertahankan harga diri," ucap dosen kewirausahaan di Universitas Trunojoyo itu.

Batik GentonganSetiap bulan, bengkel Jokotole mampu menghasilkan 300 hingga 500 lembar batik. Sama seperti batik pada umumnya, proses pengerjaan batik biasa memakan waktu paling lama satu minggu. Dimulai dari melajur atau membuat pola, lalu mewarnai, melilin, melorot, mencelup, melorot lagi, lalu mencelup lagi, dan baru kemudian menjemur, satu lembar batik berukuran 220x110cm dibanderol Rp 200.000.

Namun, lain halnya dengan batik gentongan. Uswatun menuturkan, perbedaannya terletak pada proses perendaman. Batik gentongan yang menggunakan pewarna alami, seperti akar-akaran direndam dalam gentong terlebih dahulu. "Prosesnya pun memakan waktu 2 hingga 6 bulan," imbuh Uswatun.

Ekspor ke Jepang
Lamanya proses pengerjaan batik gentongan, menjadikan harganya pun jauh lebih tinggi dibanding batik Bangkalan biasa. Jika batik biasa dihargai Rp 200.000 per lembar, dengan ukuran sama maka batik gentongan dihargai paling murah Rp 1 jutaan.

Uswatun mengatakan, meski mahal, nyatanya beberapa pembeli kepincut memiliki batik gentongan. Tak hanya kalangan tertentu pasar domestik saja, tapi juga orang-orang Jepang, China, dan Malaysia.

Uswatun mengaku, sejak mengikuti program Wira Usaha Bank Indonesia (WUBI) 2014, omzetnya melejit menjadi Rp 106 juta per bulan, dari sebelumnya Rp 22 juta per bulan pada 2011. "Tapi itu baru untuk batik biasa yang kita produksi rutin untuk dijual oleh reseller. Belum termasuk batik gentongan, karena batik gentongan bikinnya by order," lanjut dia.

Dia menambahkan, pelatihan dan promosi yang didapatnya dari program WUBI jauh lebih bermanfaat ketimbang bantuan permodalan. Sebab, dari kegiatan tersebut, Uswatun bisa berkenalan dengan buyers potensial. Meski terbantu program WUBI dari sisi pemasaran, Uswatun menuturkan, pengurusan izin ekspor masih menjadi kendala.

"Mengurus perizinan untuk ekspor ke Malaysia ribet, bolak-balik ke kelurahan, ke kecamatan. Masing-masing dimintain," kata dia.

Untuk menyiasati perizinan yang rumit, Uswatun meminjam bendera rekannya untuk melakukan kegiatan ekspor. Produk Jokotole pun mulai merambah pasar manca sejak September 2014 lalu. "Pertama ekspor ke Jepang 60 potong. Malaysia lebih dari 100 potong. China baru 50-an potong, karena kita baru pengenalan ke mereka," tukas Uswatun.

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com